Ads block

Banner 728x90px

PENETAPAN KADAR ABU


Contact us # #contactForm # # http:// # Home -Item -nnn _hhhhhhhhhhhhhhh Item LAPORAN PRAKTIKUM Item Item NONE #bt-home http:// #

  

PERCOBAAN II

PENETAPAN KADAR ABU

 

I.    TUJUAN PERCOBAAN

         Menetapkan kandungan kadar abu yang terdapat pada beberapa bahan makanan dan untuk mengetahui prinsip metode penetapan kadar abu dengan metode tanur.

 

II.  TINJAUAN PUSTAKA

Abu merupakan zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Bahan biologis dalam pembakaran semua senyawa organik akan rusak, sebagian besar karbon berubah menjadi gas karbon dioksida (CO2), hidrogen menjadi uap air, dan nitrogen menjadi uap nitrogen. Sebagian besar dari mineral akan tertinggal dalam bentuk abu dalam bentuk senyawa anorganik sederhana. Sebagian besar bahan makanan, yaitu sekitar 96% terdiri dari bahan organik dan air. Sisanya terdiri dari unsur-unsur mineral (Novika, 2013).

Kadar abu ada hubunganya dengan mineral suatu bahan. Mineral yang terdapat dalam suatu bahan terdapat dalam suatu bahan dapat merupakan dua macam garam yaitu garam organik dan garam anorganik. Garam organik misalnya garam-garam asam mallat, oksalat, asetat, pektat, sedngkan garam anorganik antara lain dalam bentuk garam fosfat, karbonat, klorida, sulfat, nitrat. Selain kedua garam tersebut, kadang-kadang mineral berbentuk sebagai senyawaan komplek yang bersifat organis dan apabila akan ditentukan jumlah mineralnya dalam bentuk aslinya sangatlah sulit, oleh karena itu biasanya dilakukan dengan menentukan sisa-sisa pembakaran garam mineral tersebut, yang dikenal dengan pengabuan (sudarmadji, 2003).

Penentuan kadar abu adalah mengoksidasikan senyawa organik pada suhu yang tinggi, yaitu sekitar 500-600°C dan melakukan penimbangan zat yang tinggal setelah proses pembakaran tersebut. Pengabuan yang lama tiap bahan berbeda–beda dan berkisar antara 2-8 jam. Pengabuan dilakukan pada alat pengabuan yaitu tanur yang dapat diatur suhunya. Pengabuan akan selesai apabila diperoleh sisa pembakaran yang umumnya bewarna putih abu-abu dan beratnya konstan dengan selang waktu 30 menit. Penimbangan terhadap bahan dilakukan dalam keadan dingin,untuk itu krus yang berisi abu diambil dari dalam tanur harus lebih dahulu dimasukan ke dalam oven bersuhu 105°C agar suhunya turun menyesuaikan degan suhu didalam oven, barulah dimasukkan kedalam desikator sampai dingin, barulah abunya dapat ditimbang hingga hasil timbangannya konstan (Susanto, 1994).

Abu merupakan residu anorganik yang didapat dengan cara mengabukan komponen-komponen organik dalam bahan pangan. Jumlah dan komposisi abu dalam mineral tergantung pada jenis bahan pangan serta metode analisis yang digunakan. Abu dan mineral dalam bahan pangan umumnya berasal dari bahan pangan itu sendiri (indigenous). Tetapi ada beberapa mineral yang ditambahkan ke dalam bahan pangan, secara disengaja maupun tidak disengaja. Abu dalam bahan pangan dibedakan menjadi abu total, abu terlarut dan abu tak larut. Kadar abu suatu bahan ditetapkan pula secara gravimetri. Penentuan kadar abu merupakan cara pendugaan kandungan mineral bahan pangan secara kasar. Bobot abu yang diperoleh sebagai perbedaan bobot cawan berisi abu dan cawan kosong.  Suatu sampel apabila di dalam cawan abu porselen dipanaskan pada suhu tinggi sekitar 650°C akan menjadi abu berwarna putih. Abu ternyata di dalamnya tersebut dijumpai garam-garam atau oksida-oksida dari K, P, Na, Mg, Ca, Fe, Mn, dan Cu, disamping itu terdapat dalam kadar yang sangat kecil seperti Al, Ba, Sr, Pb, Li, Ag, Ti, As, dan lain-lain. Besarnya kadar abu dalam daging ikan umumnya berkisar antara 1 hingga 1,5 % (Susanto, 1994).

Prinsip dari pengabuan cara tidak langsung yaitu memberikan reagen kimia tertentu kedalam bahan sebelum dilakukan pengabuan. Senyawa yang biasa ditambahkan adalah gliserol alkohol ataupun pasir bebas anorganik selanjutnya dilakukan pemanasan pada suhu tinggi. Pemanasan mengakibatkan gliserol alkohol membentuk kerak sehingga menyebabkan terjadinya porositas bahan menjadi besar dan dapat mempercepat oksidasi. Pemanasan untuk pasir bebas dapat membuat permukaan yang bersinggungan dengan oksigen semakin luas dan memperbesar porositas, sehingga dapat mempercepat proses dari pengabuan (Sudarmadji, 1996).

 

III. ALAT DAN BAHAN

3.1 Alat

             Alat-alat yang digunakan pada percobaan ini meliputi tanur, desikator, penjepit tabung, timbangan, cawan porselin dan tutup.

3.2 Bahan

Bahan-bahan yang digunakan pada percobaan ini meliputi sampel seperti tepung beras, tepung jagung, tepung tapioka, dan tepung terigu.

 

IV. PROSUDER KERJA

1.      Cawan kosong ditimbang pada neraca analitik.

2.      Cawan kosong dikeringkan dalam oven selama 15 menit.

3.      Sebanyak 2 gram sampel ditimbang.

4.      Cawan kosong dikeluarkan dari oven dan didinginkan dalam desikator selama 15 menit.

5.      Sampel dimasukkan kedalam cawan kosong dan ditimbang.

6.      Cawan yang telah ditambahkan sampel dimasukkan kedalam tanur bersuhu 500o selama 6 jam.

7.      Cawan dikeluarkan dari oven, didinginkan dalam desikator dan ditimbang.

 

 

 

 

 

 

 

 

V.  HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil

Tabel 1. Cawan kososng dan tutupnya

No.

Nama kelompok

Berat cawan + tutup

1.

Kelompok I

32,47 gram

2.

Kelompok II

34,98 gram

3.

Kelompok III

30,61 gram

4.

Kelompok IV

30,08 gram

 

Table 2. Berat cawan dan sampel sesudah dan sebelum ditanur

No.

Nama kelompok

Berat sampel (gr)

Berat cawan setelah ditanur

Kadar abu (%)

1.

Kelompok I

2

32,48 gram

0,5%

2.

Kelompok II

2

34,982 gram

0,1%

3.

Kelompok III

2

30,62 gram

0,5%

4.

Kelompok IV

2

30,10 gram

1%

 

Perhitungan

a.       Kelompok 1

Berat cawan kosong konstan = 32,47 gr

Berat cawan + sampel setelah ditanur = 32,48 gr

Kadar abu (%) =

b.      Kelompok 2

Berat cawan kosong konstan = 34,98 gr

Berat cawan + sampel setelah ditanur = 34,982 gr

Kadar abu (%) =

c.    Kelompok 3

Berat cawan kosong konstan = 30,61 gr

Berat cawan + sampel setelah ditanur = 30,62 gr

Kadar abu (%) =

d.   Kelompok 4

Berat cawan kosong konstan = 30,08 gr

Berat cawan + sampel setelah ditanur = 30,10 gr

Kadar abu (%) =

 

5.2 Pembahasan

Judul praktikum kali ini adalah penetapan kadar abu dengan tujuan menetapkan kandungan kadar abu yang terdapat pada beberapa bahan makanan dan untuk mengetahui prinsip metode penetapan kadar abu dengan metode tanur. Tujuan  pengujian kadar abu total adalah untuk menentukan baik tidaknya suatu proses penggolahan, untuk mengetahui jenis bahan yang digunakan, untuk memperkirakan kandungan buah yang digunakan untuk membuat jelly, untuk dipakai menentukan atau membedakan fruit uinegar (asli) atau sintesis dan sebagai parameter nilai bahan pada makanan. Kadar abu yang yang terukur merupakan bahan-bahan anorganik yang tidak terbakar dalam proses pengabuan, sedangkan bahan-bahan organik terbakar. Kadar abu dalam suatu bahan pangan sangat mempengaruhi sifat dari bahan pangan tersebut. Kandungan abu dan komposisinya bergantung pada macam bahan dan cara pengabuan yang digunakan. Kandungan abu dari suatu bahan menunjukkan kadar mineral dalam bahan tersebut.

Metode pada pengujian kadar abu adalah metode langsung dan tidak langsung. Percobaan kali ini menggunakan metode langsung yaitu pengabuan kering (suhu tinggi & O2). Pengabuan kering membutuhkan ketelitian, menganalisis bahan lebih banyak dibanding pengabuan basah. dapat diterapkan ke semua jenis mineral, kecuali merkuri dan arsen, dilakukan untuk menganalisis Ca, P dan Fe, suhu diatas 480oC dapat merusak mineral K, suhu 450oC tidak dapat untuk menganalisis Zn, suhu terlalu tinggi dapat membuat mineral tidak larut (timah putih).

Prinsip dari pengabuan cara langsung yaitu dengan mengoksidasi semua zat organik pada suhu tinggi, yaitu sekitar 500-600C dan kemudian melakukan penimbangan zat yang tertinggal setelah proses pembakaran tersebut. Beberapa kelebihan dari cara langsung, berdasarkan antara lain. Digunakan untuk penentuan kadar abu total bahan makanan dan bahan hasil pertanian, serta digunakan untuk sample yang relatif banyak. Digunakan untuk menganalisa abu yang larut dan tidak larut dalam air, serta abu yang tidak larut dalam asam. Tanpa menggunakan regensia sehingga biaya lebih murah dan tidak menimbulkan resiko akibat penggunaan reagen yang berbahaya. Kelemahan dari pengabuan cara langsung antara lain. Membutuhkan waktu yang lebih lama. Tanpa penambahan regensia.  Memerlukan suhu yang relatif tinggi. Adanya kemungkinan kehilangan air karena pemakaian suhu tinggi. Penentuan kadar abu total dapat digunakan untuk berbagai tujuan, antara lain untuk menentukan baik atau tidaknya suatu pengolahan, mengetahui jenis bahan yang digunakan, dan sebagai penentu parameter nilai gizi suatu bahan makanan. Penentuan kadar abu berhubungan erat dengan kandungan mineral yang terdapat dalam suatu bahan, kemurnian serta kebersihan suatu bahan yang dihasilkan.

Sampel yang digunakan adalah tepung. Digunakan tepung dikarenakan tepung berupa bahan yang kering sehingga mudah dilakukan penetapan kadar airnya. Alat yang digunakan adalah cawan porselen, desikator, neraca analitik, tanur dan penjepit cawan. Fungsi alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah cawan porselin berfungsi sebagai tempat sampel diletakkan, tanur digunakan sebagai alat untuk mengeringkan sampel atau tempat proses pengeringan terjadi, desikator adalah alat untuk mendinginkan sampel setelah dari tanur dan neraca analitik berfungsi sebagai alat menimbang bahan dan alat lainnya. Alat tambahan lain adalah penjepit kayu dan serbet yang bertujuan untuk menggambil cawan yang panas setelah dioven.

Pengerjaan yang dilakukan adalah pertama-tama cawan kosong ditimbang pada neraca analiti, Cawan kosong dikeringkan dalam oven selama 15 menit, sebanyak 2 gram sampel ditimbang, cawan kosong dikeluarkan dari oven dan didinginkan dalam desikator selama 15 menit, sampel dimasukkan kedalam cawan kosong dan ditimbang, cawan yang telah ditambahkan sampel dimasukkan ke dalam tanur bersuhu 500o selama 6 jam, cawan dikeluarkan dari oven, didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Alasan perlakuan yang digunakan yaitu cawan dibakar di dalam tanur pada suhu 105oC untuk membuat cawan menjadi konstan sehingga tidak menimbulkan masalah pada perhitungan kadar. Cawan yang didinginkan pada desikator berguna agar cawan tidak kontak dengan udara luar sehingga menimbulkan bertambahnya berat dari cawan. Cawan yang berisikan sampel kemudian dimasukkan kedalam tanur dan dipanaskan selama 6 jam berguna untuk mengubah sampel menjadi abu. Tanur dimatikan setelah itu dan dibuka saat sudah 105oC hal ini perlu dilakukan agar saat mengambil cawan, tangan kita tidak terbakar. Cawan kemudian di timbang agar diketahui berapa berat dari abu yang ada didalam cawan tersebut.

Hasil kadar abu yang diperoleh dari sampel tepung terigu, tepung jagung, tepung tapiokatepung beras, pada masing-masing kelompok didapatkan kadar abu yaitu kelompok 1 dengan kadar abu 0,5%, kelompok 2 dengan kadar abu 0,1%, kelompok 3 dengan kadar abu 0,5%, dan terakhir kelompok 4 dengan kadar abu 1%. Pada tepung terigu kadar abu (Ash) adalah kadar abu yang ada pada tepung terigu yang mempengaruhi proses dan hasil akhir produk antara lain warna produk (warna crumb pada roti, warna mie) dan tingkat kestabilan adonan. Semakin tinggi kadar ash semakin buruk kualitas tepung. Sebaliknya semakin rendah kadar ash semakin baik kualitas tepung. Hal ini tidak berhubungan dengan jumlah dan kualitas protein Menurut standar nasional Indonesia SNI kadar abu tepung terigu maksimal 0,70 % dan pada hasil kadar abu yang diperoleh dari sampel tepung terigu masih memenuhi syarat.

 

VI. KESIMPULAN

            Prinsip dari pengabuan cara langsung yaitu dengan mengoksidasi semua zat organik pada suhu tinggi, yaitu sekitar 500-600C dan kemudian melakukan penimbangan zat yang tertinggal setelah proses pembakaran tersebut. Hasil kadar abu yang diperoleh dari sampel tepung terigu, tepung jagung, tepung tapiokatepung beras, pada masing-masing kelompok didapatkan kadar abu yaitu kelompok 1 dengan kadar abu 0,5%, kelompok 2 dengan kadar abu 0,1%, kelompok 3 dengan kadar abu 0,5%, dan terakhir kelompok 4 dengan kadar abu 1%.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Novika, C. R., Dian R. A., Kawiji & R. Baskara K. A. 2013. Kajian Penggunaan Tepung Millet Kuning Sebagai Subtitusi Tepung Terigu Pada Karakteristik Sensoris, Fisikokimia dan Aktivitas Anti Oksidan dan Mi Instan Ubi Jalar Ungu. Jurnal Teknosains Pangan Vol. 2 (1) ISSN: 2302-0733.

 

Sudarmadji. dkk. 2003. Prosedur Analisa Bahan Makanan Dan Pertanian. Liberti. Yogyakarta.

 

Susanto, T. dan B. Saneto, 1994. Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian. Surabaya: Bina Ilmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar